1
Halo teman-teman, berjumpa lagi dengan saya hehe, kali ini saya akan membahas sedikit mengenai 7 kabinet dalam Masa Pemerintahan Liberal, langsung saja.......
1. Kabinet Natsir (6 September1950-21 Maret 1951)
Bagaimana kondisi sosial budaya pada masa Kabinet Natsir?
Kondisi sosial
budaya pada masa Kabinet Natsir tidak lepas dari program dan keberhasilan yang
pernah dicapai, sebagai berikut:
Program-program dari Kabinet
Natsir, di antaranya meliputi :
- · mempersiapkan dan menyelenggarakan pemilihan umum untuk Konstituante.
- · mencapai konsolidasi dan penyempurnaan susunan pemerintahan serta membentuk peralatan negara yang kuat dan daulat.
- · menggiatkan usaha keamanan dan ketentraman
- · menyempurnakan organisasi Angkatan perang dan pemulihan bekas – bekas anggota tentara dan gerilya dalam masyarakat.
- · memperjuangkan penyelesaian soal Irian Barat secepatnya.
- · mengembangkan dan memperkokoh kesatuan ekonomi rakyat sebagai dasar bagi pelaksanaan ekonomi nasional yang sehat.
- · membantu pembangunan perumahan rakyat serta memperluas usaha – usaha meninggikan derajat kesehatan dan kecerdasan rakyat
Keberhasilan yang pernah dicapai
Kabinet Natsir :
- · Di bidang ekonomi, ada Sumitro Plan yang mengubah ekonomi kolonial ke ekonomi nasional
- · Indonesia masuk PBB
- · Berlangsung perundingan antara Indonesia-Belanda untuk pertama kalinya mengenai masalah Irian Barat.
2. Kabinet
Sukiman (26 April 1951-23 Februari 1952)
Apakah dampak positif dan negatif MSA
Ø
Dampak
positif perjanjian MSA
- Meningkatnya keamanan negara Indonesia
Dengan
tertandatanganinya perjanjian ini, negara Indonesia mendapat bantuan militer
dari AS untuk menjaga Indonesia dari segala ancaman terutama ancaman paham komunis.
Hal ini sesuai dengan isi perjanjian tersebut dimana AS berusaha membendung
paham komunis agar Teori Domino tidak terjadi.
- Perekonomian negara Indonesia semakin maju
Tak hanya bantuan
militer, Indonesia juga mendapat bantuan ekonomi dari Amerika untuk
meningkatkan pembangunan dan mengatasi masalah perekonomian negara Indonesia,
sesuai syarat yang ditawarkan oleh AS, yaitu “Sebagai imbalan negara peminjam
diwajibkan : Berusaha menstabilkan keuangan masing-masing negara dan
melaksanakan anggaran pendapatan yang berimbang. Mengurangi
penghalang-penghalang yang menghambat kelancaran perdagangan antara
negara-negara peminjam. Mencegah terjadinya inflasi. Menempatkan perekonomian
negara masing-masing negara atas dasar sendi-sendi perekonomian yang sehat.
Memberikan bahan-bahan yang diperlukan Amerika Serikat untuk kepentingan
pertahanan. Meningkatkan persenjataan masing-masing negara untuk kepentingan
pertahanan.”
3. Terhadangnya
paham komunis masuk ke Indonesia
Alasan utama mengapa AS mengadakan
perjanjian ini adalah untuk menghadang komunisme agar tida terjadi teori
domino. Teori domino adalah teori yang berspekulasi bahwa apabila sebuah negara
di suatu kawasan terkena pengaruh komunisme, negara-negara sekitarnya akan ikut
dipengaruhi komunisme lewat efek domino. Teori yang sering didengungkan pada
tahun 1950-an sampai 1980-an ini digunakan oleh beberapa presiden Amerika
Serikat semasa Perang Dingin sebagai alasan intervensi A.S. di seluruh dunia.
Salah satu syarat agar mendapat bantuan AS adalah “Bantuan akan dihentikan
apabila di negara peminjam terjadi pergantian kekuasaan yang mengakibatkan
negara tersebut melaksanakan paham komunis.”
4. Terjalinnya
sebuah kerja sama antara Indonesia dengan AS
Dengan terjalinya
kerja sama, hal ini akan membantu sesama negara apabila mengalami kesulitan
dalam mengelola negara
Ø
Dampak negatif perjanjian MSA
- 1. Lengsernya kabinet Sukiman
Pertukaran nota
antara Menteri Luar Negeri Achmad Soebardjo dan Duta Besar Amerika Merle
Cochran menjadi penyebab lengsernya kabinet ini. Isi nota tersebut adalah
bantuan ekonomi dan militer yang diberikan oleh Amerika Serikat kepada
Indonesia berdasarkan Mutual Security Act (MSA) atau lebih dikenal dengan nama
undang-undang kerja sama keamanan.
Hal tersebut dinilai menciderai konsep
politik luar negeri bebas aktif yang selama ini dianut oleh Indonesia. Kabinet
Sukiman dituduh telah menjadikan Indonesia masuk ke dalam Blok Barat. Hal
itulah yang membuat DPR menggugat kebijakan kabinet tersebut dan akhirnya
kabinet tersebut jatuh.
2. Tidak
maksimalnya pembangunan Indonesia yang telah direncanakan oleh kabinet Sukiman
Dengan lengsernya
kabinet Sukiman, semua pembangunan yang telah direncanakan sebelumnya tida
terealisasikan, akibatnya pembangunan di Indonesia tidak maksimal.
3. Kabinet Wilopo (30 Maret 1952-2 Juni 1953)
Analisis Peristiwa Tanjung Morawa!
Munculnya
peristiwa Tanjung Morawa mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur
(Deli). Sesuai dengan perjanjian KMB pemerintah mengizinkan pengusaha asing
untuk kembali ke Indonesia dan memiliki tanah-tanah perkebunan. Tanah
perkebunan di Deli yang telah ditinggalkan pemiliknya selama masa Jepang telah
digarap oleh para petani di Sumatera Utara dan dianggap miliknya. Sehingga pada
tanggal 16 Maret 1953 muncullah aksi kekerasan untuk mengusir para petani liar
Indonesia yang dianggap telah mengerjakan tanah tanpa izin tersebut. Para
petani tidak mau pergi sebab telah dihasut oleh PKI. Akibatnya terjadi
bentrokan senjata dan beberapa petani terbunuh. Intinya peristiwa Tanjung
Morawa merupakan peristiwa bentrokan antara aparat kepolisian dengan para
petani liar mengenai persoalan tanah perkebunan di Sumatera Timur (Deli).
4. Kabinet Ali Sastroamidjojo I (30 Juli 1953-24 Juli 1955)
Mengapa terdapat koalisi PNI dengan NU dan
Oposisi Masyumi?
Pada tanggal 3
Juni 1953, Perdana Menteri Wilopo mengembalikan mandatnya kepada Presiden
sebagai akibat dari Peristiwa Tanjung Morawa. Dengan demikian kabinet dinyatakan
demisioner. Kabinet Ali Sastroamijdojo merupakan kabinet pengganti dari Kabinet
Wilopo. Kabinet Ali mengisi krisis pemerintahan di Indonesia pasca kekosongan
selama 58 hari (sepeninggalan Kabinet Wilopo).
Untuk mengisi
jabatan Perdana Menteri ditunjuk Ali Sastroamidjojo yang saat itu menjabat Duta
Besar Indonesia untuk Amerika Serikat. Ali Sastroamidjojo dari PNI sempat ragu,
karena selama ini belum pernah diajak bicara oleh partainya mengenai
pembentukkan kabinet. Tetapi setelah didesak oleh Ketua Umum PNI, Sidik
Joyosukarto, akhirnya Ali Sastroamidjojo mau menduduki jabatan perdana menteri.
Akhirnya pada tanggal 30 Juli 1953, Presiden mengumumkan pembentukan Kabinet
Ali Sastroamidjojo yang kemudian disahkan dengan Keputusan Presiden RI No. 132
Tahun 1953 tertanggal 30 Juli 1953. Pelantikan Ali Sastroamidjojo sebagai
Perdana Menteri dilangsungkan di Istana Negara pada tanggal 12 Agustus 1953.
Dalam Kabinet Ali,
Masyumi merupakan partai terbesar kedua dalam parlemen tidak turut serta, dalam
hal ini NU (Nahdatul Ulama) kemudian mengambil alih sebagai kekuatan politik
baru. Maka dari itu, terjadilah koalisi antara PNI dan NU. Mengapa Masyumi tidak
ikut serta sehingga menjadi pihak oposisi? Hal ini karena adanya beberapa
perbedaan dan arah tujuan di antara kalangan politii pada waktu revolusi.
Perseteruan antara
Presiden dan Masyumi terjadi pada saat Kabinet Sukiman. Seperti yang terjadi
perbedaan pendapat antara Sukarno yang tidak setuju tentang perdamaian dengan
Jepang, dan penerimaan bantuan dari Amerika Serikat. Sebaliknya dengan Sukiman
yang akan melakukan pembersihan terhadap PKI. Meskipun begitu Sukarno tetap
menahan diri. Kabinet Sukiman menjadi paling terkenal dengan dilakukannya
satu-satunya usaha yang serius pada masa
itu untuk menumpas PKI. Kaum PKI menjadi komunis menjadi marah dengan
bersedianya PNI bergabung dalam suatu koalisi dengan Masyumi, karena strategi
mereka sangat tergantung pada kedua partai itu masih terus bertikai satu sama
lain.
Selanjutnya pada
kabinet Wilopo perdebatan antara Sukarno dengan Masyumi menyangkut masalah
ideologi atau dasar negara Indonesia. Sukarno pernah berpidato di Amuntai,
Kalimantan Selatan tanggal 27 Januari 1953. Pada kesempatan itu pula ia
berpidato tentang keinginan negara nasional dan bukan negara berdasarkan Islam.
Pernyataan Sukarno itu mendapat tanggapan berbagai kalangan, khususnya
tokoh-tokoh Masyumi.
Keterlibatan PKI
sejauh ini belum terlalu memiliki pengaruh yang besar. Karena saat itu sedang
memanasnya hubungan Sukarno dengan Partai Masyumi. Setelah kabinet Wilopo
mengembalikan mandatnya kepada Presiden, Kabinet Ali I mulai menjalankan
pemerintahan pada tanggal 12 Maret 1953. Pada masa inilah untuk pertama kalinya
Masyumi tidak duduk dalam kabinet, sehingga menempatkan Masyumi dalam partai
oposisi.
5. Kabinet Burhanuddin Harahap (12 Agustus 1955-3
Maret 1956)
Bagaimana kondisi rakyat saat pemilu pertama?
Kabinet ini
terkenal dalam Sejarah Tatanegara Indonesia karena pada masa kabinet inilah
berhasil melaksanakan Pemilihan Umum yang pertama kali sejak Indonesia Merdeka,
untuk memilih anggota-anggota DPR (29 September 1955) dan memilih anggota
konstituante tanggal 15 Desember 1955 (UU Nomor 7 tanggal 7 April 1955).
Kabinet ini juga yang mengembalikan manfaatnya setelah Dewan Perwakilan Rakyat
hasil Pemilu terbentuk pada bulan Maret 1956.
Pemilihan umum di
Indonesia yang pertama di selenggarakan pada tanggal 29 September 1955. Satu
setengah bulan setelah terbentuknya kabinet ini. Sebagai ketua Lembaga
Pemilihan Umum adalah Menteri Dalam Negeri waktu itu yaitu: Mr. Sunaryo yang
berasaskan langsung, umum, bebas, dan rahasia alias LUBER.
Yang paling
menarik dari pemilihan umum saat itu, semua kontestan ikut duduk dalam
kepanitian Pemilu, mulai tingkat pusat sampai ke PPD, PPS bahkan sampai ke
KPPS. Biasa dikatakan yang menjadi panitia Pemilihan Umum waktu itu adalah
Pemerintah bersama Parpol. Sehingga karena Parpol yang menjadi kontestan
pemilu, terjun juga dalam kepanitiaan, maka keadilan dan keberhasilan jalannya
pemilu lebih terjamin sesuai dengan asas langsung, umum, bebas, dan rahasia.
Sehingga kepanitiaan yang mana kontestan ikut terlibat di dalamnya lebih baik.
Sebab apabila seorang anggota panitia mau melakukan kecurangan takut dan segan
kepada panitia lain yang dari partai lain. Maka ia akan jaga diri Partainya
(Bibit.1985:168).
Hasil dari pemilihan umum tanggal
29 September 1955 adalah:
1. PNI : 57 kursi 15. Partai Buruh
: 2 kursi
2. Masyumi : 57 kursi 16. PRI : 2
kursi
3. Partai NU : 45 kursi 17. PRIM :
2 kursi
4. PKI : 39 kursi 18. AKUI : 1
kursi
5. PSII : 8 kursi 19. ACOMA : 1
kursi
6. Parkindo : 8 kursi 20. PPTI : 1
kursi
7. Partai Katolik : 8 kursi 21. PRD
: 1 kursi
8. PSI : 6 kursi 22. R.Sujono P : 1
kursi
9. PERTI : 5 kursi 23. PIR Wongso :
1 kursi
10. IPKI : 4 kursi 24. PIR Hazairin
: 1 kursi
11. GPP : 4 kursi 25. Permei : 1
kursi
12. PRN : 2 kursi 26. Baperki : 1
kursi
13. P3RI : 2 kursi 27. Parindra : 1
kursi
14. Murba : 2 kursi 28. Peratuan
Daya : 1 kursi
Total semua berjumlah 257 kursi
6. Kabinet Ali Sastromidjojo II (20 Maret 1956-14
Maret 1957)
Analisis Gerakan Asaat!
Pada masa Kabinet
Ali Sastroamidjojo ke-2, muncul "Gerakan Assaat", suatu gerakan yang
diprakarsai Mr.Assaat. Gerakan ini menuntut pembedaan perlakuan dan pemberian
fasilitas kepada pengusaha-pengusaha "asli" dan "pribumi".
Mr.Assaat yang pada saat itu menjadi anggota parlemen yang dekat dengan
Masjumi, mendesak pemerintah agar mengeluarkan peraturan untuk menghentikan
keterlibatan orang-orang Tionghoa, baik warga negara Indonesia maupun asing,
dari berbagai bidang usaha yang dianggap menguntungkan. Dengan terus terang ia
menyatakan kesiapannya untuk menjalankan program-program anti Tionghoa. Menurut
pandangannya, orang Tionghoa tidak bisa dipercaya dan tidak boleh dibiarkan
menguasai ekonomi Indonesia. Ia juga menyerang orang Tionghoa sebagai golongan
yang tidak loyal kepada negara, malahan menyatakan bahwa golongan keturunan
Arab berbeda dengan orang Tionghoa dan harus dikatagorikan sebagai
"asli".
7. Kabinet Djuanda/Karya (9 April 1957-5 Juli
1959)
Mengapa terdapat Deklarasi Djuanda yang
berkaitan dengan batas territorial dan pemberontakan PRRI serta Permesta?
Segera setelah
program kerja Kabinet Djuanda disusun, maka langkah pertama segera dilakukan.
Dan yang pertama dilakukan adalah dengan membentuk Dewan Nasional yang juga
menandai awal mulainya Demokrasi Terpimpin di Indonesia. Setelah program
pertama sudah dikerjakan, kemudian langsung dilanjutkan dengan program kerja
Kabinet Djuanda selanjutnya yaitu normalisasi pada keadaan Republik Indonesia
yang saat itu masih sangat tidak stabil. Normalisasi ini dilakukan dengan
menyelesaikan antar pusat maupun antar daerah.
Keadaan semakin
bertambah kacau setelah adanya peristiwa percobaan pembunuhan terhadap Presiden
Soekarno. Selain peristiwa tersebut, juga marak berbagai gerakan-gerakan yang
bersifat anarki. Ditambah lagi berbagai demonstrasi yang terjadi hampir di
seluruh penjuru Indonesia dan terjadi pengambil alihan milik Belanda.
Peristiwa-peristiwa anarki tersebut jelas sangat mengganggu perekonomian saat
itu. Belum lagi masalah Irian Barat yang kemudian dibawa ke PBB sebagai
konsekuensi dari pelaksanaan program kabinet Djuanda.
Untuk menjamin
terlaksananya program pembebasan Irian Barat, kemudian pada 10 Februari 1958
sebuah front yang kala itu dinamakn sebagai Front Pembebasan Irian Barat atau
disingkat dengan FNPIB. Namun sangat disayangkan, sampai berakhirnya era
Kabinet Karya, perjuangan pembebasan Irian Barat tidak terlaksana alias gagal.
Kekacauan semakin bertambah parah ketika saat itu beberapa tokoh perwira
Angkatan Darat dan beberapa cendikiawan membentuk Gerakan Menyelamatkan Negara
Republik Indonesia dengan memberikan ultimatum kepada Kabinet Karya. Gerakan
ini kemudian yang menimbulkan berdirinya PPRI yang berada di Bukit Tinggi yang
berada di bawah pimpinan Syafrudin Prawiranegara yang bergabung dengan Permesta
untuk melawan Pemerintah.
Gerakan PPRI
Permesta ini kemudian mendapatkan dukungan dari SEATO yang merupakan tangan
kanan Amerika Serikat. Dukungan Amerika Serikat kepada PPRI Permesta ini
kemudian membuat gambaran rakyat Indonesia yang memberikan opini negatif
terhadap negara Adikuasa tersebut. Namun pada akhirnya pemberontakan yang
dilakukan oleh PRRI Permesta ini berhasil ditumpas oleh TNI dan sekaligus
menjadi prestasi yang sangat luar biasa dari Kebinet Djuanda.
Keberhasilan yang
paling mencolok dari Kabinet Djuanda ini tentu saja adalah berhasil menumpas
pemberontakan yang dilakukan oleh PRRI Permesta. Selain berhasil menumpas
pemberontakan, Kabinet Djuanda juga dinilai berhasil dengan mengeluarkan
Deklarasi Djuanda yang mengatur batas wilayah kepulauan di Indonesia. Deklarasi
tersebut kemudian dikuatkan dengan dikeluarkannya Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang Undang No. 4 prp. Tahun 1960 tentang perairan Indonesia.
Bagaimana setelah kalian membacanya? Semoga sedikit penjelasan diatas dapat menambah pengetahuan kalian ya, Terima kasih telah mengunjungi blog saya, Sampai bertemu dipostingan selanjutnya:)))
0 komentar:
Posting Komentar